Loading...
Kamis

Pangkat PNS Sama, Gaji Bisa Beda ? ??

Pangkat PNS Sama, Gaji Bisa Beda ? ??
Oleh: Fajjin Amik, S.Pd., M.Si

Kementerian pendayagunaan aparatur Negara dan reformasi birokrasi (Kemempan-RB) saat ini tengah menggodok sistem penggajian PNS berdasarkan jabatan. Hal ini sudah barang tentu sistem penggajian yang telah berlaku sampai saat ini bagi seluruh kalangan pegwai negeri yang dimana gaji pokok ditentukan sama bagi PNS berpangkat sama, sudah tentu akan dihilangkan (ditiadakan).
Selama ini, tidak ada perbedaan masalah gaji PNS yang memiliki pangkat yang sama. Besaran Gajinya sama saja, mau yang sibuk atau yang adem ayem. Atau juga yang super prestatif. Melihat kondisi seperti ini, pemerintah tak mau tinggal diam (mungkin saja rugi; gaji sama, kualitas kerja beda). Untuk ke depan, pemerintah (dalam rencana) akan memperbaikinya, yaitu dengan cara merubah sistem penggajian yang sampai saat ini digunakan. Beberapa hal fundamental (mendasar) yang perlu diperhatikan terkait perubahan sistem penggajian yang akan dijadikan penilaian bagi besar kecilnya gaji (dalam bahasa merakyat di sebut ‘upah’) Abdi Negara ini diantaranya yaitu Tanggung jawab, beban kerja, dan capaian kerja. Tanggung jawab, beban kerja, dan capaian kerja yang dijadikan bahan penilaian bagi besar kecilnya upah abdi Negara ini menjadi indikator yang nantinya akan jadi bahan pembeda antara gaji PNS yang satu dengan yang lainnya. Jadi jangan heran, senior atau junior (tetapi pangkatnya sama) memiliki gaji yang sama (karena junior lebih mobile, lebih aktif bahkan lebih prestatif dalam bekerja) atau bahkan junior lebih besar gajinya daripada senior (karena lebih-lebih segalanya daripada senior). Perbedaan gaji seperti ini, kedepan mungkin-mungkin saja akan terjadi. Hal ini tentu saja terwujud apabila sistem penggajian PNS berdasarkan Jabatan yang sekarang di godok ini rampung dan mulai diberlakukan bagi semua PNS.
Dalam kaitan pemunculan sistem baru penggajian ini, pemerintah tentu memiliki dasar dalam kemunculannya, salahsatunya didasarkan pada konvensi ILO Nomor 100 yang menyatakan gaji yang sama dengan pekerjaan yang sama (dengan kata lain; gaji OK, kinerja juga harus sama OK nya). Hal ini dianggap sejalan dengan Pasal 7 ayat 1 UU No. 43 tahun 1999. UU ini didalamnya menyatakan bahwa setiap pegawai negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya. Dalam analisa ini, perlu ditegaskan bahwa sistem penggajian yang akan datang akan menggunakan pemeringkatan jabatan. Yang artinya bahwa bobot jabatan dinilai berdasarkan beban kerja, tanggung jawab dan capaian kerja pegawai itu sendiri. Dengan adanya wacana (sekarang sudah ‘rencana’) perubahan tersebut, sudah pasti pemerintah, dalam hal ini pihak terkait (Kemenpan-RB) menyiapkan rencana-rencana jitu untuk perwujudan pelaksanaannya, diantaranya perlu melakukan analisa dan evaluasi jabatan serta menyusun aspek maupun variabel pengukuran kinerja pegawai negeri untuk mendapatkan peringkat jabatan itu sendiri. Sudah pasti diikuti dengan pengukuran kinerja pada masing-masing instansi baik pusat maupun daerah (mungkin ini sebenarnya lebih mirip seperti DP3 dalam kaitan penilaian yang diberikan atasan kepada bawahan dalam instansi negeri/pemerintahan, tapi ini lebih spesifik dan mendetail dalam penilaiannya).
Dalam kaitan perumusan penggajian pegawai negeri dengan sistem seperti ini (penulis menyebutnya sistem berdasarkan ‘kinerja’ karena memang mengambil titik poinnya dari indikator-indikator kinerja seperti capaian kerja, tanggung jawab, dan beban kerja), memang pada hakikatnya dasar hukum (UU) yang masih berlaku sampai saat ini dianggap masih relevan dan memadai sebagai wadah untuk mengakomodasi penyempurnaannya. Tapi jika kita kaji lebih dalam, maka dengan adanya penyempurnaan tersebut sudah pasti perlu juga dilakukan penyempurnaan terhadap PP No. 7 Tahun 1977 tentang peraturan gaji PNS, yang dalam hal ini sebagai peraturan pelaksanaannya.
Nampaknya, sudah menjadi suatu keharusan jika kita hendak menerapkan sistem penggajian yang lebih ideal (tidak lebih ideal seperti Pancasila) maka perlu disiapkan penggajian yang berbasis kompetensi dan jabatan, penilaian pegawai untuk menduduki jabatan (meski tidak dapat dipungkiri bahwa aspek politis kadang menyertai didalamnya), serta pencapaian kinerja pegawai yang bersangkutan. Setidaknya jika kita meruntut wacana ini, maka itulah alasan mengapa perlu dilakukan perubahan sistem penggajian selama ini. Terlepas dari pro dan kontra tentang penerapannya, setidaknya kita perlu juga mengapresiasi I’tiqad pemerintah ini sebagai suatu niatan baik guna memperbaiki kinerja para abdi Negara itu sendiri.

Dampak Lain
Dengan rencana penerapan sistem penggajian baru ini, sudah barang tentu akan berdampak pada hal-hal lainnya, salah satunya yaitu dalam hal Mutasi. Khususnya mutasi antar daerah, dengan munculnya sistem baru ini maka mutasi antar daerah akan menjadi lebih mudah. Secara teori (sudah pasti berdasarkan aturan), mengenai mutasi PNS, pemerintah sampai saat ini masih sulit menerapkan mobilitas perpindahan (mutasi) PNS lintas daerah. Ini kendalanya terganjal pada sistem pembiayaan terkait otonomi daerah. Dengan sistem tersebut, membuat PNS yang akan dipindahkan ke daerah lain otomatis memberikan beban anggaran pada instansi di daerah tempatnya di mutasi tersebut. Sebagai contoh, karena banyak PNS yang bukan berasal dari tempat/daerahnya bekerja, maka sebetulnya banyak PNS yang ingin mutasi ke tempat/daerah asalnya (walaupun sudah konsekuensi PNS harus mau ditempatkan dimana saja dan kapan saja). Akan tetapi untuk masa sekarang ini tentu sulit untuk dilakukan (bukan tidak bisa), karena memang membutuhkan langkah ‘extra’ dari pegawai yang ingin mutasi itu sendiri ditambah lagi dengan keengganan pegawai untuk mengurusnya karena belum apa-apa dalam benaknya sudah terbayang akan berurusan dengan birokrasi yang dianggapnya rumit (meskipun sebetulnya belum tentu rumit). Maka sebagai pemecahannya, dapat dilakukan pembiayaan bagi PNS daerah dari APBN seperti PNS Pusat. Dengan cara ini, maka daerah yang akan menampung mutasi PNS tidak akan terbebani dengan anggaran tambahan lagi. Jika melihat cara ini, maka (tanpa bermaksud memberi peluang untuk pindah) ini merupakan angin segar bagi mereka (PNS) yang ingin mutasi lintas daerah.
Efek lain dari hal tersebut, dengan adanya mutasi PNS secara nasional, ke depan jenis kepegawaian tidak diperlukan lagi. Maka ke depan juga yang ada hanyalah PNS Republik Indonesia (PNS RI) sehingga takkan ada lagi sebutan PNS Daerah dan PNS Pusat. Apabila ditempatkan di Pemerintah Daerah (PEMDA) maka sebutannya adalah PNS pada Pemda, dan jika di tempatkan di instansi pusat maka sebutannya adalah PNS pada Pemerintah Pusat. Selain hal itu, pengaturan PNS yang bekerja pada instansi daerah tidak perlu diatur lebih rinci pada Undang-Undang (UU) tentang Pemda, tetapi hanya cukup diatur dan merujuknya kepada UU tentang Kepegawaian. Pengambilan langkah tersebut lebih dikarenakan mengacu kepada prinsip kepegawaian yaitu sistem karir tertutup dalam arti Negara. Dengan kata lain, PNS dapat dipindah ke instansi manapun ke seluruh wilayah negara sesuai permintaan dan pelepasan oleh instansi tenpat dimana pegawai tersebut bekerja. Lebih mantap lagi, PNS dapat dipekerjakan atau ditempatkan pada badan lain pemerintahan sepanjang ditujukan untuk kepentingan dan tugas Negara. Yang pasti, bagi PNS harus berpedoman pada Abdi Praja Darma Satya sesuai dalam KORPS-nya.
Nah, mengacu pada analisa diatas, sekarang semuanya dikembalikan ke individu masing-masing (PNS), apakah ingin gaji lebih besar dari PNS lain yang pangkatnya sama? Maka buatlah kinerja anda lebih baik dari sekarang. Apakah ingin mutasi ke daerah asal? Maka tentunya harus lebih legowo dan mesti mempertimbangkan aspek kebutuhan dari instansi tempatnya bekerja, jika masih dibutuhkan dan tidak dalam kondisi ‘keharusan’ sebaiknya ndak usah dan jangan memaksakan, karena pada dasarnya masih dibutuhkan dan sekali lagi, sudah menjadi konsekuensi bagi para abdi Negara dimanapun bekerja. Wallahua’lam bishowab

penulis, kolumnis & pemerhati pendidikan

0 komentar :

 
Toggle Footer
TOP